Dihargai Jadi kamu yang mulai harus lebih selektif lagi, kamu harus bisa mencari tempat diaman kamu bisa dihargai dengan baik ketika kamu dibutuhkan atau pun tidak. Karena tempat ini memang sangat nyaman dan cocok untukmu sehingga membuatmu jauh lebih bahagia dan tanpa ada sakit hati. 2. Ingat, Sebaik Apapun Kita Tetap Tidak Akan Sempurna di
Allah ta’ala berfirman “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya”. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jisim. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; Benda Lathif. sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan Katsif. sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda “Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain¬Nya”. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud. Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata “Allah ta’ala ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn Asakir W. 620 H dalam risalah aqidahnya mengatakan “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi¬Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi W. 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506, mengatakan “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam “Engkau azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu di bawah¬Mu” Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. Hadits Jariyah Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia budak menjawab “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul utusan Allah? Ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Merdekakanlah dia”. Al Hafizh al Haytsami W. 807 H dalam kitabnya Majma’ al- Zawaid Juz I, hal. 23 mengatakan “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain. Sumber Buku “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah” yang diterbitkan Lembaga LITBANG Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah SYAHAMAH 2003.
Seorangmanusia tidak akan pernah dicabut nyawa nya, melainkan sudah Allah menyempurnakan rezeki .. yang ditakdirkan untuknya “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh
Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Untuk memahami tema ini harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, Allah berfirman هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ ءال عمران 7 “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab Al Qur’an kepada Muhammad. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur’an yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur’an dengannya dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya seperti saat tibanya kiamat melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal” QS. Al Imran 7 Ayat-ayat Muhkamat Ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى ۱۱ “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. QS. asy-Syura 11 وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ سورة الإخلاص 4 “Dia Allah tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. QS. al Ikhlash 4 هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا سورة مريم 65 “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. QS. Maryam 65 Ayat-ayat Mutasyabihat Ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah ﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ سورة طه 5 ﴿ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ﴾ سورة فاطر 10 Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله akan naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ سورة الشورى ۱۱ . Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih hal yang tidak diketahui oleh kita yang dimaksud dalam ayat ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ سورة ءال عمران 7 Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa’ Thaha 5. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda ” اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ” حديث ضعيف ضعفا خفيفا Maknanya “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur’an dan berimanlah terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur’an”. Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla’if dengan kedla’ifan yang ringan. Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya’ Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah “Sedang firman Allah ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ سورة ءال عمران 7 yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu alayhi wasallam tentang kiamat kapan tiba. Jadi mutasyabih dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang dan akhir semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman ﴿ هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ يَوْم يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ ﴾ الأعراف 53 maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan berdalih ayat tersebut bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhlukpun untuk mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah berfirman tentang al Qur’an ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ سورة الشعراء 195 Maknanya “Dengan bahasa Arab yang jelas” asy-Syu’ara’ 195 Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ sebab mereka ternyata tidak memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur’an ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang Arab padahal al Qur’an berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan yang patut untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?”. Az-Zabidi selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi “Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat tentang takwil tersebut adalah وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ , seakan Allah menyatakan “orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya” karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan “Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya”. Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar Pertama Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global takwil ijmali, yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi, tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ سورة الشورى ۱۱ Maknanya “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. asy-Syura 11 Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i –semoga Allah meridlainya- ” ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ ” “Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah”, yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda makhluk yang tentunya mustahil bagi Allah. Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci takwil tafshili seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur’an tertulis ” سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ ” اهـ. “Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ al Qashash 88 yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya”. Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali tidak memiliki permulaan , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus ar-Rahmah al Khashshah. Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili terperinci, ia mengatakan yakni datang kekuasan-Nya tanda-tanda kekuasaan-Nya “. Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al Ala-i “Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya “. Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa’id al Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu’lam. Al Hafizh Abu Sa’id al Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar “Dia adalah guru dari para guru kami”, beliau hidup pada abad VII Hijriyah. Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci tafshili, di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash teks-teks induk dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad. Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari. Kedua Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis ﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ سورة ص 75 Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al Inayah perhatian khusus dan al Hifzh pemeliharaan dan penjagaan. 2. Allah Ada Tanpa Tempat بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد قال الله تعالى هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا سورة مريم 65 “Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya Allah”. QS. Maryam 65 Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah golongan yang selamat. Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى 11 “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. QS. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jism. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. 2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ “كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ” رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda “Allah ada pada azal Ada tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- “كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ” “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan Dia Allah sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula, ada tanpa tempat” Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333. Al-Imam al-Bayhaqi w 458 H dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam قالَ رَسُوْلُ الله “أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ” رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه “Engkau Ya Allah azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu HR. Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”. Al-Imam as-Sajjad Zain al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib w 94 H berkata “أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ” رواه الحافظ الزبيدي “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah. Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah, hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli w 478 H dalam kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali w 505 H dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi w 676 H dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki w 756 H dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi. Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- w 321 H berkata “تَعَالَـى يَعْنِي اللهَ عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ” “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang; tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan ulama Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al-Isra ayat 1. Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari w 324 H -Semoga Allah meridlainya- berkata “إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ ” رواه البيهقي في الأسماء والصفات “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat. Al-Imam al-Asy’ari juga berkata “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al-Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak w 406 H dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani w 973 H dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ konsensus seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi w 911 H dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi w 297 H, al-Imam Ahmad ar-Rifa’i w 578 H, Syekh Abd al-Qadir al-Jailani w 561 H dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul. Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi w 321 H dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama “al-Aqidah ath-Thahwiyyah”. Beliau berkata ” وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر ” “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”. Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Al-Imam al-Ghazali berkata “لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ” “Tidak sah ibadah seorang hamba kecuali setelah mengetahui Allah yang wajib disembah”. Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah. 3. Kesalahan memaknai kata “Fawq” dan “Al-Alyy” pada Hak Allah Kata “fawq” dalam makna zhahir berarti “di atas”. Dalam penggunaannya, kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan dinisbatkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah, di antaranya firman Allah وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ الأنعام 18 Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya. Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah “Sabbihisma Rabbik al-Ala” QS. Al-A’la 1, dan firman-Nya “Wa Huwa al-Alyy al-Azhim” QS al-Baqarah 255. Karena makna al-Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-Uluww pada hak Allah dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-Aali, al-Alyy, dan al-Muta’ali”. Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h. 505. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18, menuliskan sebagai berikut “Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan“Fulan Fawqa Fulan”, maka artinya si fulan yang pertama A lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua B, bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa Ibadih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibadih” dengan mempergunakan kata jamak“ Daf’u Sybah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzih, h. 23. Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlah ad-Dalil menuliskan sebagai berikut “Allah berfirman “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18, dan berfirman tentang para Malaikat “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah “Yadullah Fawqa Aidihim” QS. Al-Fath 10, dan firman-Nya “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18. Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat, firman Allah “Wa Fawqa Kulli Dzi Ilmin Alim” QS. Yusuf 76. Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan. Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhar; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Ghulam Fawq as-Sulthan” atau “al-Ghulam Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian, tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat. Dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Karena sesungguhnya seorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” Idlah ad-Dalil Bi Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thil, h. 108-109. Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya Lihat al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 3, h. 78, j. 20, 15, j. 12, h. 91, j. 4, h. 217, j. 11, h. 223 dan di banyak halaman lainnya. Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah An Allah menuliskan sebagai berikut “Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian. Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm. Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan “al-Ilmu Fawq al-Amal” maka artinya “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” QS. Az-Zukhruf 32, artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun “Wa Inna Fawqahum Qahirun” QS. Al-A’raf 127. Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Wajibkita yakini bahwa Allah ada tanpa membutuhkan kepada tempat dan arah. Dalil atas keyakinan ini dari Al-Qur’an adalah surat asy-Syura ayat 11 dan ayat-ayat muhkamat lainnya yang berkaitan dengan hal itu. Allah ta’ala menegaskan: لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ (الشورى: ١١)
Akidah Rosulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah meyakini bahwa Allah Ada tanpa Tempat dan tanpa Arah. Karena tempat adalah makhluk, dan arah juga Makhluk. Jadi Allah Tidak membutuhkan makhlukNya. Akidah Rosulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah meyakini bahwa Allah Ada tanpa Tempat dan tanpa Arah. Karena tempat adalah makhluk, dan arah juga Makhluk. Jadi Allah Tidak membutuhkan makhlukNya. Anda bisa membaca lengkap Akidah Rosulullah ini yang diajarkan kepada para sahabatnya sampai kepada Imam Asy'ari dan Imam Maturidy. Silahkan download buku Ini Penjelasan lengkap ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH Atau bisa dibaca lengkap disini Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (yang sebenar), yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. 📚 (QS. al-Hujurat: 6) Error 404 Tidak Ditemukan Halaman yang Anda tuju tidak tersedia

MasyaAllah! Tanpa Kita Sadari, Tanda Kebesaran Allah Sudah Ada di Tubuh Kita terdapat alat-alat yang mengantarkan manusia untuk mengenal yang bermanfaat atau tidak apabila kita sujud ia berada di tempat paling rendah menandakan pengabdian manusia kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan apabila kita cermati menutup kotak menyerupai orang

Aqidah Imam Syafi'i, aqidah imam asy'ari, kitab aqidah syafi i, dalil allah ada tanpa tempat dan arah, ajaran imam syafii yang dilanggar oleh pengikutnya, kitab aqidah untuk pemula, dimanakah allah berada menurut islam, syubhat allah ada tanpa tempat, imam syafi i istiwa Imam asySyafi’i dengan nama Muhammad ibn Idris w 204 H, adalah seorang ulama di zaman Salaf terkemuka dan juga sebagai perintis madzhab Syafi’i, berkata إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24 Artinya adalah “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Dan Allah menciptakan tempat, dan Allah Ta'ala tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Allah menciptakan tempat tanpa tempat. Dan Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” ref lihat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24. Dalam kitab karyanya Imam Syafi'i; al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال الفقه الأكبر، ص13 “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Allah tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, Allah ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” al-Fiqh al-Akbar, h. 13, Imam Syafi'i. Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah Thaha 5 ar-Rahman Ala al-Arsy Istawa, Imam asy-Syafi’i berkata إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات الفقه الأكبر، ص 13 “Sesungguhnya ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak - secara mendetail - membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini -dan semua orang Islam- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan bentuk dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” al-Fiqh al-Akbar, h. 13, Imam Syafi'i. Secara detail didalam kitab yang sama, bahwa Imam asy-Syafi’i telah membahas bahwa adanya batasan bentuk dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan al-hadd; bentuk adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. Perlu diketahui bahwa Imam asy-Syafi’i adalah seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid. Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, seperti keyakinan kaum Musyabbihah, sekarang Wahhabiyyah yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Na’udzu Billahi Minhum.....

Allah Ada Tanpa Tempat”. Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila
TerapiRuqyah Rumah Sehat. 11/10/2017. Pengobatan ruqyah. Tempat ruqyah di Jakarta - Membantu umat yang membutuhkan terapi ruqyah syar'iyyah untuk mengatasi gangguan jin, santet, teluh, guna-guna, tenung, santau ataupun jenis sihir lainnya yang merujuk kepada al-Qur'an dan doa-doa yang ma'tsur dari Rasulullah, berlepas diri dengan berbagai
AqidahAhlusunnah : Allah Ada Tanpa tempat Dan Arah (Allah Maujud Bilaa makan) wasallam, Waba’du. Allah ta’ala berfirman: Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11) Makna hadits ini bahwa Allah ada pada

Takselamanya kita hidup. Dunia ini tempat berbekal untuk kembali pulang kepada Allah. Iman serta amal kita sudah mencukupikah? Seandainya waktu memanggil kita tanpa waktu yang berkompromi, semoga hati kita selalu dijaga dan dipelihara oleh Allah didalam setiap nafas yang kita hirup ini. Di balik sendu, Allah menitipkan hikmah yang bisa dipetik.

Jikaengkau tidak temukan hatimu di sana, maka mintalah kepada Allah agar Memberimu hati karena sesungguhnya engkau sudah tak punya hati lagi” (Al Fawaid 1/148) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya

Adanyamedia promosi Kawasan Tanpa Rokok. 1. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok diterima dan dilaksanakan oleh pengelola dan jemaah. 2. Dipatuhi dan dimanfaatkannya fasilitas yang mendukung Kawasan Tanpa Rokok. 3. Tidak ada penjual rokok di sekitar tempat ibadah. 4. Tidak ada yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. 5. Tempat Ibadah tanpa asap rokok.

Kesalahpahaman Allah ada di setiap ciptaan. Fakta: Allah tidak tinggal di bumi atau di tempat lain di alam semesta kita. ( 1 Raja 8: 27) Memang, bintang-bintang dan ciptaan Allah lainnya ”menyatakan kemuliaan Allah”. ( Mazmur 19:1) Namun, sama seperti seorang pelukis tidak mungkin tinggal di dalam lukisannya, Allah juga tidak tinggal di
Pernahada seorang ibu datang dari tempat yang jauh ingin sekali bertemu dengan anak-anaknya, tapi sayang anak-anaknya tidak mau menyambut dia. Menyaksikan hal itu, sepertinya peristiwa 2000 tahun lalu yang terjadi di kandang Betlehem terulang kembali. Tiada tempat bagi ibu itu, baik di rumah anak-anaknya, lebih lebih lagi di hati anak-anaknya. Nah ternyata tidak hanya tempat itu saja yang konon pernah terkena azab. Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini 7 tempat yang konon pernah diazab oleh Sang Maha Pencipta. 1. Laut Mati. Laut Mati () Berdasarkan cerita yang beredar, kisah Sodom dan Gomora terjadi di sekitar Laut Mati. Letaknya di sekitar Lembah Yordan yang berbatasan denga
Meskipundi suatu tempat tidak ada CCTV, kita jangan merasa bebas untuk berperilaku yang aneh dan nyeleneh, orang-orang di sekitar kita akan merekamnya dengan kamera di smartphone yang mereka bawa. Tak sedikit perilaku aneh dan nyeleneh seseorang yang mereka jadikan viral di media sosial tanpa disadari pelakunya.
Tanpapenambahan Allah bersemayam di atas arsy Arah dan Tempat adalah makhluq Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah Allah ta’ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11). Allahakan mmenganugerahkan limpahan berkah, rahmat, rasa aman, pengokohan, dan taufik kepada oorang-orang yang beriman. Sementara itu, Allah SWT akan menimpakan azab, siksaan, dan kemurkaan kepada orang-orang kafir. Namun, tanpa dibarengi usaha dan perjuangan, “Burung-burung Ababil” bias dipastikan tidak akan mendatangi kita.
\n \n \n allah ada tanpa tempat
KumpulanKata kata tentang Basmallah dan Pujian bagi Allah SWT. “Sebelum memulai aktifitas, mari kita mulai dengan menyebut nama Allah (mengucap Basmallah);”. “Dia yang menciptakan dan menetapkan segala sesuatu dari ketiadaan;Dia yang Maha hidup, Maha abadi yang tidak pernah dipengaruhi oleh waktu, ruang, atau segala sesuatu lainnya;”. Lalubacalah mantera di bawah ini 7 kali saat melakukan pati geni dan tengah malam saat berpuasa. Mantra pelet penakluk sukma : ” Assalamu alaikum wa alaikum salam. Salam duh gusti Allah gusti muga – muga jabang bayine si . karo jabang bayiku diaworna dadi siji, welas asih , asih kresane Allah. Laa ilaaha illallah Mukhammadur Rasulullah “. LHdt37.